Sabtu, 19 Oktober 2013

Ruang Komunal di Rumah Susun


Langkah Jokowi-Ahok dalam mengatasi perumahan kumuh yang mengganggu peruntukan lahan di Jakarta, patut diacungi jempol. Fasilitas Rusunami yang dilengkapi dengan perabot seperti kulkas dan kompor gas merupakan nilai tambah yang berhasil menarik minat para calon penghuni yang 'tergusur' dari 'rumah'nya. Tentu saja permasalahan tempat tinggal tidak lantas berhenti dengan tertampungnya sebagian masyarakat dalam rusunami yang sangat layak huni. Perlu pertimbangan tentang karakter masyarakat Indonesia yang mengutamakan kebersamaan dalam masyarakat. Apakah ruang-ruang komunal sudah tersedia dengan baik? Berikut bagian Abstraksi & Kesimpulan dari tulisan saya berjudul “Urgensi Ruang Komunal Pada Perencanaan Rumah Susun di Indonesia” yang dimuat di Proceeding Seminar Nasional Perumahan Nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Arsitektur Universitas Bina Nusantara Jakarta, 15 Desember 2008. ISBN 978-979-15595-2-2

ABSTRAKSI

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki kebutuhan terhadap perumahan yang juga terus berkembang. Keterbatasan lahan dan meningkatnya populasi merupakan pertimbangan utama dalam pembangunan perumahan vertikal seperti rumah susun maupun apartemen bersubsidi. Namun demikian perlu dikaji kembali ketersediaan dan kelayakan ruang-ruang komunal pada perumahan vertikal tersebut. Perbedaan fisik bangunan vertikal dari bangunan rumah tinggal sebelumnya menyebabkan perubahan karakter komunikasi para penghuninya. Diperlukan penyesuaian agar kualitas komunikasi dan interaksi sosial dalam komunitas tersebut dapat terjaga.
Makalah ini mengemukakan pembahasan bersifat sosial kebudayaan, berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar. Pembangunan perumahan vertikal sebagai salah satu pemecahan masalah terhadap kebutuhan tempat tinggal, memerlukan pemikiran mendalam terhadap permasalahan spasial yang mendukung dan merepresentasikan karakter budaya masyarakat Indonesia.

KESIMPULAN

Perumahan sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat memang merupakan permasalahan yang sangat mendesak. Berbagai kendala yang ditemui dalam upaya pemenuhan kebutuhan terhadap perumahan di Indonesia merupakan suatu bentuk pembelajaran bagi semua pihak. Pembangunan rumah susun sebagai solusi memerlukan persiapan yang lebih matang. Salah satu hal yang sangat penting adalah mengenali karakter masyarakat yang akan menghuni rumah susun tersebut. Secara garis besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang memiliki budaya timur yang sangat kuat. Kecenderungan globalisasi yang berdampak negatif terhadap interaksi sosial di masyarakat kita memerlukan solusi yang serius.
Beberapa panduan desain yang dapat dijadikan bahan pertimbangan telah disebutkan pada bagian ‘Urgensi Ruang Komunal bagi Masyarakat Indonesia’. Meskipun perencanaan rumah susun memerlukan penelitian lebih lanjut terutama terkait dengan konteks masing-masing lokasi pembangunannya, namun diharapkan pada masa yang akan datang pembangunan rumah susun akan lebih merepresentasikan karakter masyarakat Indonesia.

**beberapa bahasan inti dari makalah ini akan dimuat kemudian. In syaa Allah...

Rabu, 02 Desember 2009

PERGESERAN NILAI JOGLO


Sumber : Pengaruh Gaya Hidup Masyarakat Jawa pada Desain Interior Rumah Tinggal Berbentuk Joglo di Jakarta, tesis oleh Augustina Ika Widyani, Program Studi Magister Desain ITB, 2006.

Kamis, 26 November 2009

Pergeseran Pola Konsumsi dalam Penggunaan Joglo

sumber : Pengaruh Gaya Hidup Masyarakat Jawa pada Desain Interior Rumah Tinggal Berbentuk Joglo di Jakarta, tesis oleh Augustina Ika Widyani, Program Studi Magister Desain ITB, 2006.




MAKNA FILOSOFIS JOGLO

Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta, atau dalam lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa, merupakan media perantara untuk menyatu dengan Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.



a. Rumah bagi individu Jawa
Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu:
- arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja.
- Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.
- Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang cerah, ceria dan penuh harapan.
- Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencana yang akan menimpanya.
Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.
Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.


b. Rumah bagi keluarga Jawa
Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri.
Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.
Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.
Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong (kamar) dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan.
Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai titik penghubung antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi keduanya.


c. Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa
Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja yang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut saka guru. Bagian saka guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun yang sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati, akibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.
Pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas stratifikasi sosial yang berlaku juga menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan rumah terhadap lingkungan sekitarnya. Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki untuk bersosialisasi sehingga kemudian mempertegas bahkan membentuk nilai-nilai kemasyarakatan.
Sebagai personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo (peninggian lantai-dinding-atap) dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagian tubuh manusia (kaki-badan-kepala) dan secara non-fisik menurut perjalanan hidupnya (lahir-hidup-mati).
Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos, terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya (pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.
Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Pada gambar di atas ditandai oleh daerah yang berwarna hijau.
Karena secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’, maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.

Kamis, 19 November 2009

Rumah Dalam Arsitektur Jawa

Bagi orang Jawa, rumah sebagai tempat tinggal atau tempat berdiam merupakan salah satu tujuan idealnya (Ronald: 1988: 88). Bahkan memiliki rumah sendiri dapat merupakan lambang kemantapan rumah tangganya. Rumah sebagai lingkungan kehidupan manusia dalam keadaan berdiam diri, keberadaannya akan membentuk keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Rumah menjadi sarana untuk membentuk kepribadian seseorang sebelum menghadapi tantangan hidup di kemudian hari, yang berkaitan dengan kepentingan pribadi maupun para generasi penerusnya. Oleh karena itu rumah ke dalam dapat diartikan suatu pembentukan, sedang keluar dapat diartikan sebagai pantulan kepribadian seseorang.

Perkataan omah (rumah) menurut Baoesastra Jawa menunjukkan suatu bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau keperluan lainnya (Ismunandar: 2001: 101)
Sedemikian pentingnya arti rumah bagi orang Jawa sebagai bagian dari keselarasan kosmos, maka dalam membangun rumah perlu memperhatikan lahan yang tepat untuk membangun rumah (Ismunandar: 2001: 24), jenis kayu yang digunakan (Ismunandar: 2001: 11), perhitungan waktu membangun rumah (Ronald: 1988: 161) hingga letak dan arah hadap pintu masuk ke dalam halaman rumah (Ronald: 1988: 170).

Pada saat merencanakan dan saat mendirikan kemudian sesudah selesai rumah itu didirikan, selalu diikuti oleh ritus-ritus atau upacara-upacara tertentu (Wibowo, 1998:199). Sebelum mendirikan bangunan, diadakan upacara kawitan (upacara permulaan) yang terdiri dari upacara senthir lan tumpeng serta upacara tulak bala. Pelaksanaan upacara kawitan ini berbeda di tiap daerah, ada yang mengadakan upacara senthir saja atau tumpeng saja. Namun pada intinya maksud dari diadakannya upacara kawitan ini adalah untuk menjinakkan dhanyang yang bertempat tinggal di tempat itu (Wibowo: 1998: 202).

Pada saat proses mendirikan bangunan juga diadakan upacara yaitu upacara natah molo dan upacara ngadekake omah. Upacara natah molo merupakan ritual yang sangat penting karena ditujukan untuk memohon kepada Tuhan, menolak bahaya yang datang dari kekuatan gaib dan memohon doa restu dan keselamatan dari para tetangga. Molo atau suwunan merupakan bagian rumah yang paling penting, karena merupakan kepala daripada keseluruhan bangunan rumah. Pada saat mendirikan rumah, molo yang merupakan bagian paling atas dari kerangka bangunan akan dipasang paling akhir setelah kerangka-kerangka lainnya terpasang.

Setelah bangunan selesai juga diadakan upacara yang disebut upacara selapanan omah. Serangkaian upacara ini ditujukan untuk mendatangkan keselamatan selama proses mendirikan bangunan itu sendiri maupun keselamatan bagi para penghuninya kemudian. Rumah juga diasosiasikan sebagai manusia, sudah dianggap kokoh apabila berusia 35 hari (Wibowo: 1998: 218). Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan serta leluhur, segenap tetangga dan para handai taulan yang diwujudkan dalam bentuk doa bersama dengan begadang (lek-lekan) semalam suntuk.

Demikianlah beberapa kebiasaan yang diikuti oleh orang Jawa dalam mendirikan rumah. Masing-masing dapat mempengaruhi kehidupan penghuni rumah, karena setiap hal saling terkait sebagai suatu kesatuan kosmik. Oleh karena itu dari awal pendiriannya sudah diperhitungkan dengan teliti supaya dapat mendatangkan kebaikan bagi penghuni rumah.

Sumber :
- Ronald, Arya, 1988, Manusia dan Rumah Jawa, Penerbit Juta, Yogyakarta.
- Ismunandar, R., 2001, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Effhar & Dahara Prize, Semarang.
- Wibowo, Drs. H.J., dkk., 1998, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

WANITA (YANG) SUKA DITIPU

Weitsss......tunggu, ini bukan curhatan. Ini bahan renungan untuk rekan2 sesama perempuan. Bukan mo ngasi kuliah, fyi aku udah gk ngajar lagi sekarang. Fokus ngurus si kecil, amanah utama dari Allah untuk seorang ibu. Jadi begini...

Kebanyakan perempuan bilangnya sih paling sebel kalo dibohongi. Tapi dia justru membuat orang terus2an berbohong. Kok bisa? Kalau seseorang, apalagi yang sangat dekat dengan kita, mengaku bahwa dia telah berbohong kepada kita... Atau bagaimana kalau ada orang yang mengaku telah melakukan sesuatu yang sangat-sangat kita benci. Apa reaksi spontan yang biasa kita rasakan? Marah. Kecewa. Sebel. Pengen makan orang (upss...gk segitunya kaleee). Lalu bagaimana kita menyikapinya? Ya marah-marah, mengumpat, kalo perlu pukulin aja tuh. Betul kan? Padahal kalo kita analisa dengan kepala dingin, apa yang terjadi kalau kita selalu bersikap demikian terhadap orang tersebut? Apakah ada orang yang menikmati kemarahan kita? Apakah ada orang yang senang mendengar kita mengumpat? Hehehe....kayaknya gk ada deh. Jadi kalau orang gk suka dengan kemarahan tersebut, dia akan menghindar dari kemarahan kita. Mending gk usah ngaku aja, ngapain bilang2 kalo akhirnya harus dimarahin.... Akibatnyaaaa....kita bakal dibohongi terus. Masuk akal kan?

Jadi harus bagaimana? Ya saran aku sih, begitu kita merasakan ada kemarahan dalam hati, tarik nafas dalam2 dulu, usahakan tersenyum untuk meredam kemarahan. Jangan terpancing. Kemudian katakan dengan intonasi rendah bahwa kita tidak menyukai perbuatannya, plus...bilang makasih udah mau jujur. Kalau seseorang berani jujur apa adanya kepada kita, itu artinya dia mengakui kedewasaan kita kan?

Memang hal sepele, tapi banyak perempuan yang tidak menyadarinya. Pantesan aja laki-laki demen bohong...

19 November 2009

Selasa, 17 November 2009

DESAINER INTERIOR – DEKORATOR INTERIOR – ARSITEK INTERIOR

Apa perbedaan antara desainer interior, dekorator interior dan arsitek interior? Bagi beberapa orang, ini hanya masalah istilah saja. Seringkali ketiga profesi tersebut dianggap sama. Tapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Memang ada kesamaannya, yaitu pekerjaannya adalah di bidang interior. Akan tetapi ketiganya memiliki kelebihan masing-masing.

Desainer Interior adalah suatu profesi yang bertanggung jawab atas keseluruhan proses desain interior yang terdiri dari perencanaan, penataan dan perancangan ruang-ruang interior.
Dekorator interior suatu profesi yang bekerja untuk meningkatkan kualitas suatu ruangan dengan tekstur, warna dan aksesoris. Pekerjaan seorang dekorator lebih cenderung terkait dengan barang-barang lepasan seperti wallpaper, karpet, perabot maupun karya seni.
Sedangkan arsitek interior memiliki lingkup kemampuan dan pekerjaan yang lebih luas daripada dekorator interior maupun desainer interior. Seorang arsitek interior memiliki dasar pemikiran ilmiah di bidang arsitektur, sehingga dapat melakukan penambahan maupun pengurangan terhadap bangunan yang berhubungan dengan struktur.

Jelas bahwa seorang dekorator memiliki lingkup pekerjaan yang lebih terbatas. Bisa jadi seorang dekorator tidak memiliki latar belakang pendidikan desain, sehingga dalam melaksanakan pekerjaannya cenderung mengandalkan selera dan pengalaman pribadinya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan seorang dekorator memiliki kemampuan sebaik desainer maupun arsitek, apabila yang bersangkutan memiliki kemauan kuat untuk belajar. Dengan lingkup pekerjaannya yang lebih terbatas, seorang dekorator biasanya memiliki pemahaman yang lebih mengenai tekstur, warna dan aksesoris.

Seorang desainer interior memiliki latar belakang pendidikan desain, sehingga dapat menjelaskan secara ilmiah setiap solusi desain yang menjadi keputusannya. Desainer interior bisa saja melakukan perubahan yang berhubungan dengan struktur, namun diperlukan adanya konsultasi dengan pihak yang kompeten dengan struktur, yaitu arsitek maupun kontraktor sipil.

Kelebihan arsitek interior adalah memiliki kemampuan yang komperehensif untuk melakukan perencanaan interior. Kedudukan seorang arsitek interior dalam sebuah proyek fisik bisa jadi adalah sebagai arsitek sekaligus desainer interior. Latar belakang pendidikan arsitek interior tidak sedetail desainer interior, sehingga diperlukan pengalaman yang cukup untuk memiliki kemampuan setingkat desainer interior.