Rabu, 28 Oktober 2009

MEYAKINI KEMUTLAKAN ALLAH

Alhamdulillah. Allah mempercayai suamiku untuk membimbing dan melindungiku. Seorang laki2 yang aku kagumi kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah. Seorang laki2 biasa yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang, mengakui keterbatasannya sebagai manusia biasa serta berusaha selalu memperbaiki diri.

Namun tidak ada pasangan yang tidak diuji oleh Allah. Kecintaan kami kepada Allah dan Rasulullah berangkat dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Sehingga beberapa kali kami berdiskusi dengan sangat serius kadang emosional (biasanya yang emosional adalah aku....dasar wanita). Permasalahan yang menurut kami adalah prinsip, dan suamiku sangat khawatir ini akan menjadi bibit perselisihan dalam rumah tangga kami. Kurang lebih begini...

Suamiku yakin bahwa Allah memberikan pilihan dalam kehidupan setiap hamba-Nya, setiap pilihan membawa pada konsekuensi2 tertentu. Sementara aturan dan prosedurnya telah ditetapkan oleh Allah. Sehingga pilihan tersebut adalah tanggung jawab dari setiap hamba.

Ini masuk akal dan aku juga meyakini hal tersebut. Yang berbeda adalah bahwa aku yakin bahwa Allah menilai bagaimana niat dan usaha kita dalam menjalani pilihan tersebut. Sedangkan hasil dari usaha kita adalah hak mutlak Allah untuk menentukannya. Allah Maha Tahu dan kita seringkali sok tahu. Kegagalan seringkali kita nilai sebagai hasil yang buruk karena hal tersebut adalah hasil yang tidak kita kehendaki, tidak kita sukai. Padahal dibalik kegagalan atau kalau boleh disebut sebagai bencana apapun itu bentuknya, Allah menyimpan sesuatu yang jauh lebih baik. Yang buruk menurut kita belum tentu buruk dalam pandangan Allah. Berdasarkan pemikiran inilah maka aku yakin bahwa kegagalan tersebut bukan tanggung jawab kita, karena ini sudah di luar kuasa kita. Kita sudah berikhtiar dan berdoa, selanjutnya kita harus pasrah apapun yang menjadi keputusan Allah. Karena itu aku yakin yang menjadi pertimbangan dalam pencatatan amal perbuatan adalah niat dan usaha kita, bukan hasil usahanya.

Sementara suamiku sangat rasional dalam menilai suatu permasalahan. Sehingga ketika terjadi kegagalan dalam suatu usaha, itu adalah tanggung jawab kita. Pasti ada yang salah dalam niat maupun usaha kita. Mungkin kita kurang ikhlas atau kurang bersungguh-sungguh, sehingga kita harus bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut.
Wah...masalah bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut menurutku adalah dengan pasrah menerima kegagalan tersebut. Karena seringkali kita sudah benar dalam niat dan usaha namun masih gagal, jadi dimana yang salah? Tentu yang salah adalah persepsi kita dalam menilai bahwa kegagalan tersebut adalah suatu akhir yang buruk. Padalah bisa saja kegagalan adalah suatu awal untuk kebaikan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Atau bisa jadi yang salah adalah persepsi kita dalam menilai bahwa niat dan usaha kita sudah benar. Benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah bukan?

Jadi dimana sebenarnya perselisihan kami?
....sekarang aku baru menyadari maksud suamiku. Ternyata dia menekankan proses belajar dari kegagalan sebagai tanggung jawab kita. Sementara aku menekankan pada takdir Allah yang bersifat mutlak, sehingga baik buruknya tidak perlu kita berlebihan dalam menghadapinya. Bukankah keduanya tidak perlu dipertentangkan? Kalau saja dia mengatakan ini dari awal, tidak perlu kami berselisih paham begitu. Hiks....

Tapi ada hal lain lagi. Tentang keterlibatan Allah dalam keputusan yang diambil oleh setiap hamba-Nya. Suamiku berpendapat Allah tidak campur tangan, karena prosedurnya sudah jelas, itu adalah pilihan bebas tiap manusia. Sedangkan aku yakin Allah tidak lepas tangan. Allah menolong siapa pun yang dikehendaki-Nya dan membiarkan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Bukankah setiap kemudharatan tidak mungkin menyentuh kita melainkan atas ijin Allah? Bukankah setiap kemaslahatan tidak mungkin terjadi pada kita selain atas ijin Allah? Bukankah Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang Allah kehendaki? Jadi apapun yang menjadi keputusan kita tentu ada campur tangan Allah didalamnya. Bukankah karena itu maka dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah selalu dalam keadaan sibuk? Kalau prosedurnya sudah jelas sehingga tidak campur tangan dalam pilihan manusia, maaf, bukankah Allah sekarang sedang menganggur?

....jangan-jangan ini cuma masalah bahasa? Menurut suamiku ‘membiarkan’ artinya tidak campur tangan, sedangkan pertolongan Allah hanya kepada orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu, sekali lagi ditekankan bahwa prosedurnya sudah jelas.
Prosedurnya memang sudah jelas. Semua ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi menurut sudut pandangku itu adalah buku panduan yang menolong kita dalam mengambil keputusan. Bukankah tidak menyentuhnya, Al-Qur’an, melainkan orang yang disucikan? Bahkan kita diharuskan bersuci dahulu sebelum menyentuh Al-Qur’an. Jadi hanya orang yang mendapat petunjuk saja yang mempelajari prosedur tersebut. Fungsi prosedur itu adalah sebagai panduan, bukan buku takdir yang memastikan apa yang akan terjadi karena itu adalah rahasia Allah. Yang disebut buku takdir adalah Lauhul Mahfuz, dan itu adalah rahasia Allah. Al-Qur’an sendiri tertulis dalam Lauhul Mahfuz. Jadi Al-Qur’an adalah sebagian dari ilmu Allah yang masih sesuai dengan kemampuan pikir manusia, sehingga diturunkan sebagai pedoman hidup bagi orang yang mendapat petunjuk.

Seringkali kita terdorong untuk mengambil keputusan tertentu, dorongan yang sangat kuat yang membuat kita yakin. Menurutku insyaAllah itu adalah petunjuk Allah yang mengilhami setiap jiwa. Ketika kita tidak memiliki dorongan tertentu, bukankah kita melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk Allah? Apakah keputusan itu baik atau buruk, penilaiannya bukan pada manusia. Apapun yang sudah menjadi keputusan Allah adalah yang terbaik bagi setiap hamba. Jadi sekali lagi tentu ada campur tangan Allah dalam setiap keputusan manusia.

Jadi kesimpulannya apa? Wacana ini bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Tujuannya hanya mencari ridha Allah. Dan pembahasan ini belum selesai karena masih menunggu pemikiran lain dari suamiku tercinta.

21 September, 2008

Sabtu, 24 Oktober 2009

KABAR GEMBIRA DARI TUHAN

Pada zaman Rasululah saw, hidup seorang berwajah sangat buruk. Namnya Dzun Namrah (namrah artinya wajah berbintik-bintik). Pada suatu hari, dia menemui Rasulullah saw.
“Ya Rasulullah, amal-amal apakah yang telah Allah wajibkan kepadaku?” tanya Dzun Namrah.
“Allah telah mewajibkan kepadamu tujuh belas rakaat setiap hari, shaum bulan Ramadhan, haji ke Baitullah kalau mampu, dan berzakat,” jawab Nabi.
“Demi Tuhan yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, selain kewajiban-kewajiban itu, aku tidak akan melakukan amal lainnya,” kata Namrah.
“Mengapa begitu, hai Dzun Namrah?” tanya Nabi.
“Karena Dia telah menciptakanku berbentuk buruk dan bermuka jelek ini!”
Pada saat itu Jibril turun menemui Nabi, “Ya Rasulullah, Tuhanku berkata : ‘Sampaikan salam dari-Ku kepada Dzun Namrah dan katakan kepadanya, ‘Maukah Allah menjadikanmu tampan berwajah seperti Jibril pada hari kiamat nanti saat kamu dikumpulkan?’”
Rasulullah saw menyampaikan kabar gembira (bisyarah) dari Allah melalui Jibril itu kepada Namrah.
Setelah mendengar kabar itu, dia berdoa, “Ya Allah, aku bahagia! Tuhanku, demi keagungan-Mu sungguh aku pasti akan melakukan amal baik dan saleh supaya Engkau ridha.”
Taken from Kisah-Kisah Pertolongan Allah, Mahdi Shahib Hunar, 2006.

PENYAMBUTAN ALLAH

Seorang pemuda Bani Israil melakukan ketaatan dan penghambaan kepada Allah selama dua puluh tahun dan berbuat maksiat selama dua puluh tahun pula. Suatu hari ia, bercermin. Ia mengingat dirinya dan merasa malu dengan apa yang telah diperbuatnya.

Ia berkata, “Duhai Tuhanku, dua puluh tahun aku beribadah dan dua puluh tahun aku bermaksiat. Jika aku kembali kepada-Mu, apakah Engkau memperkenankan aku?”

Tiba-tiba, ia mendengar suara yang mengatakan, “Kamu mencintai Kami, maka Kami pun mencintaimu. Kamu tinggalkan Kami, maka Kami pun meninggalkanmu. Kamu berbuat maksiat kepada Kami, Kami menangguhkanmu dan jika kamu kembali kepada Kami, Kami menerimamu.”

Taken from Kisah-Kisah Pertolongan Allah, Mahdi Shahib Hunar, 2006

KEANGKUHAN MAKHLUK

Ketika Allah SWT menciptakan samudera, ia (samudera) berbangga dan sombong. Katanya, “Siapa yang bisa mengalahkanku?” lalu Allah menciptakan bumi dan diletakkan di atas permukaan samudera sehingga ia tunduk.

Kemudian bumi juga berbangga. Katanya “Siapa yang bisa mengatasiku?” Lalu Allah mencipkakan bukit dan gunung. Ditancapkannya kaki gunung ke dalam perut bumi agar ia mantap dan tidak bergoyah. Bumi tunduk dan tidak bergoyah.

Gunung pun berkata “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan besi dan memotongnya.

Si besi kemudian berkata “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah menciptakan api dan dengan api itu besi bisa mencair.

Si api berbangga “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan air dan dengan air, api bisa padam.

Lalu air pun berbangga dan berkata, “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan angin. Angin bertiup mengoncangkan gelombang samudera sampai dasarnya sehingga menahannya dari mengalir.

Angin pun berbangga dan berkata, “Siapa yang bisa mengatasiku?” lalu Allah ciptakan manusia. Dia dapat membangun dinding yang mampu menahan hembusan dan tiupan angin.

Manusia kemudian bersikap sombong dan mengatakan, “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan mati dan mati dapat mengalahkan manusia.

Mati pun bersikap sombong.
Allah berkata “Janganlah kau berbangga karena aku akan membelah kau menjadi dua, yang satu ke surga dan yang lainnya ke neraka.”
Kemudian Allah tidak akan menghidupkan mati selama-lamanya, mati pun takut.


(Khoir, Mufidul, 2007, Rahasia Para Sufi, Sketsa, Yogyakarta)