Rabu, 02 Desember 2009

PERGESERAN NILAI JOGLO


Sumber : Pengaruh Gaya Hidup Masyarakat Jawa pada Desain Interior Rumah Tinggal Berbentuk Joglo di Jakarta, tesis oleh Augustina Ika Widyani, Program Studi Magister Desain ITB, 2006.

Kamis, 26 November 2009

Pergeseran Pola Konsumsi dalam Penggunaan Joglo

sumber : Pengaruh Gaya Hidup Masyarakat Jawa pada Desain Interior Rumah Tinggal Berbentuk Joglo di Jakarta, tesis oleh Augustina Ika Widyani, Program Studi Magister Desain ITB, 2006.




MAKNA FILOSOFIS JOGLO

Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta, atau dalam lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa, merupakan media perantara untuk menyatu dengan Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.



a. Rumah bagi individu Jawa
Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu:
- arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja.
- Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.
- Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang cerah, ceria dan penuh harapan.
- Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencana yang akan menimpanya.
Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.
Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.


b. Rumah bagi keluarga Jawa
Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri.
Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.
Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.
Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong (kamar) dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan.
Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai titik penghubung antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi keduanya.


c. Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa
Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja yang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut saka guru. Bagian saka guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun yang sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati, akibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.
Pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas stratifikasi sosial yang berlaku juga menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan rumah terhadap lingkungan sekitarnya. Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki untuk bersosialisasi sehingga kemudian mempertegas bahkan membentuk nilai-nilai kemasyarakatan.
Sebagai personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo (peninggian lantai-dinding-atap) dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagian tubuh manusia (kaki-badan-kepala) dan secara non-fisik menurut perjalanan hidupnya (lahir-hidup-mati).
Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos, terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya (pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.
Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Pada gambar di atas ditandai oleh daerah yang berwarna hijau.
Karena secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’, maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.

Kamis, 19 November 2009

Rumah Dalam Arsitektur Jawa

Bagi orang Jawa, rumah sebagai tempat tinggal atau tempat berdiam merupakan salah satu tujuan idealnya (Ronald: 1988: 88). Bahkan memiliki rumah sendiri dapat merupakan lambang kemantapan rumah tangganya. Rumah sebagai lingkungan kehidupan manusia dalam keadaan berdiam diri, keberadaannya akan membentuk keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Rumah menjadi sarana untuk membentuk kepribadian seseorang sebelum menghadapi tantangan hidup di kemudian hari, yang berkaitan dengan kepentingan pribadi maupun para generasi penerusnya. Oleh karena itu rumah ke dalam dapat diartikan suatu pembentukan, sedang keluar dapat diartikan sebagai pantulan kepribadian seseorang.

Perkataan omah (rumah) menurut Baoesastra Jawa menunjukkan suatu bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau keperluan lainnya (Ismunandar: 2001: 101)
Sedemikian pentingnya arti rumah bagi orang Jawa sebagai bagian dari keselarasan kosmos, maka dalam membangun rumah perlu memperhatikan lahan yang tepat untuk membangun rumah (Ismunandar: 2001: 24), jenis kayu yang digunakan (Ismunandar: 2001: 11), perhitungan waktu membangun rumah (Ronald: 1988: 161) hingga letak dan arah hadap pintu masuk ke dalam halaman rumah (Ronald: 1988: 170).

Pada saat merencanakan dan saat mendirikan kemudian sesudah selesai rumah itu didirikan, selalu diikuti oleh ritus-ritus atau upacara-upacara tertentu (Wibowo, 1998:199). Sebelum mendirikan bangunan, diadakan upacara kawitan (upacara permulaan) yang terdiri dari upacara senthir lan tumpeng serta upacara tulak bala. Pelaksanaan upacara kawitan ini berbeda di tiap daerah, ada yang mengadakan upacara senthir saja atau tumpeng saja. Namun pada intinya maksud dari diadakannya upacara kawitan ini adalah untuk menjinakkan dhanyang yang bertempat tinggal di tempat itu (Wibowo: 1998: 202).

Pada saat proses mendirikan bangunan juga diadakan upacara yaitu upacara natah molo dan upacara ngadekake omah. Upacara natah molo merupakan ritual yang sangat penting karena ditujukan untuk memohon kepada Tuhan, menolak bahaya yang datang dari kekuatan gaib dan memohon doa restu dan keselamatan dari para tetangga. Molo atau suwunan merupakan bagian rumah yang paling penting, karena merupakan kepala daripada keseluruhan bangunan rumah. Pada saat mendirikan rumah, molo yang merupakan bagian paling atas dari kerangka bangunan akan dipasang paling akhir setelah kerangka-kerangka lainnya terpasang.

Setelah bangunan selesai juga diadakan upacara yang disebut upacara selapanan omah. Serangkaian upacara ini ditujukan untuk mendatangkan keselamatan selama proses mendirikan bangunan itu sendiri maupun keselamatan bagi para penghuninya kemudian. Rumah juga diasosiasikan sebagai manusia, sudah dianggap kokoh apabila berusia 35 hari (Wibowo: 1998: 218). Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan serta leluhur, segenap tetangga dan para handai taulan yang diwujudkan dalam bentuk doa bersama dengan begadang (lek-lekan) semalam suntuk.

Demikianlah beberapa kebiasaan yang diikuti oleh orang Jawa dalam mendirikan rumah. Masing-masing dapat mempengaruhi kehidupan penghuni rumah, karena setiap hal saling terkait sebagai suatu kesatuan kosmik. Oleh karena itu dari awal pendiriannya sudah diperhitungkan dengan teliti supaya dapat mendatangkan kebaikan bagi penghuni rumah.

Sumber :
- Ronald, Arya, 1988, Manusia dan Rumah Jawa, Penerbit Juta, Yogyakarta.
- Ismunandar, R., 2001, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Effhar & Dahara Prize, Semarang.
- Wibowo, Drs. H.J., dkk., 1998, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

WANITA (YANG) SUKA DITIPU

Weitsss......tunggu, ini bukan curhatan. Ini bahan renungan untuk rekan2 sesama perempuan. Bukan mo ngasi kuliah, fyi aku udah gk ngajar lagi sekarang. Fokus ngurus si kecil, amanah utama dari Allah untuk seorang ibu. Jadi begini...

Kebanyakan perempuan bilangnya sih paling sebel kalo dibohongi. Tapi dia justru membuat orang terus2an berbohong. Kok bisa? Kalau seseorang, apalagi yang sangat dekat dengan kita, mengaku bahwa dia telah berbohong kepada kita... Atau bagaimana kalau ada orang yang mengaku telah melakukan sesuatu yang sangat-sangat kita benci. Apa reaksi spontan yang biasa kita rasakan? Marah. Kecewa. Sebel. Pengen makan orang (upss...gk segitunya kaleee). Lalu bagaimana kita menyikapinya? Ya marah-marah, mengumpat, kalo perlu pukulin aja tuh. Betul kan? Padahal kalo kita analisa dengan kepala dingin, apa yang terjadi kalau kita selalu bersikap demikian terhadap orang tersebut? Apakah ada orang yang menikmati kemarahan kita? Apakah ada orang yang senang mendengar kita mengumpat? Hehehe....kayaknya gk ada deh. Jadi kalau orang gk suka dengan kemarahan tersebut, dia akan menghindar dari kemarahan kita. Mending gk usah ngaku aja, ngapain bilang2 kalo akhirnya harus dimarahin.... Akibatnyaaaa....kita bakal dibohongi terus. Masuk akal kan?

Jadi harus bagaimana? Ya saran aku sih, begitu kita merasakan ada kemarahan dalam hati, tarik nafas dalam2 dulu, usahakan tersenyum untuk meredam kemarahan. Jangan terpancing. Kemudian katakan dengan intonasi rendah bahwa kita tidak menyukai perbuatannya, plus...bilang makasih udah mau jujur. Kalau seseorang berani jujur apa adanya kepada kita, itu artinya dia mengakui kedewasaan kita kan?

Memang hal sepele, tapi banyak perempuan yang tidak menyadarinya. Pantesan aja laki-laki demen bohong...

19 November 2009

Selasa, 17 November 2009

DESAINER INTERIOR – DEKORATOR INTERIOR – ARSITEK INTERIOR

Apa perbedaan antara desainer interior, dekorator interior dan arsitek interior? Bagi beberapa orang, ini hanya masalah istilah saja. Seringkali ketiga profesi tersebut dianggap sama. Tapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Memang ada kesamaannya, yaitu pekerjaannya adalah di bidang interior. Akan tetapi ketiganya memiliki kelebihan masing-masing.

Desainer Interior adalah suatu profesi yang bertanggung jawab atas keseluruhan proses desain interior yang terdiri dari perencanaan, penataan dan perancangan ruang-ruang interior.
Dekorator interior suatu profesi yang bekerja untuk meningkatkan kualitas suatu ruangan dengan tekstur, warna dan aksesoris. Pekerjaan seorang dekorator lebih cenderung terkait dengan barang-barang lepasan seperti wallpaper, karpet, perabot maupun karya seni.
Sedangkan arsitek interior memiliki lingkup kemampuan dan pekerjaan yang lebih luas daripada dekorator interior maupun desainer interior. Seorang arsitek interior memiliki dasar pemikiran ilmiah di bidang arsitektur, sehingga dapat melakukan penambahan maupun pengurangan terhadap bangunan yang berhubungan dengan struktur.

Jelas bahwa seorang dekorator memiliki lingkup pekerjaan yang lebih terbatas. Bisa jadi seorang dekorator tidak memiliki latar belakang pendidikan desain, sehingga dalam melaksanakan pekerjaannya cenderung mengandalkan selera dan pengalaman pribadinya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan seorang dekorator memiliki kemampuan sebaik desainer maupun arsitek, apabila yang bersangkutan memiliki kemauan kuat untuk belajar. Dengan lingkup pekerjaannya yang lebih terbatas, seorang dekorator biasanya memiliki pemahaman yang lebih mengenai tekstur, warna dan aksesoris.

Seorang desainer interior memiliki latar belakang pendidikan desain, sehingga dapat menjelaskan secara ilmiah setiap solusi desain yang menjadi keputusannya. Desainer interior bisa saja melakukan perubahan yang berhubungan dengan struktur, namun diperlukan adanya konsultasi dengan pihak yang kompeten dengan struktur, yaitu arsitek maupun kontraktor sipil.

Kelebihan arsitek interior adalah memiliki kemampuan yang komperehensif untuk melakukan perencanaan interior. Kedudukan seorang arsitek interior dalam sebuah proyek fisik bisa jadi adalah sebagai arsitek sekaligus desainer interior. Latar belakang pendidikan arsitek interior tidak sedetail desainer interior, sehingga diperlukan pengalaman yang cukup untuk memiliki kemampuan setingkat desainer interior.

Senin, 09 November 2009

SIKAP HIDUP ORANG JAWA

Orang Jawa memandang dirinya sebagai jagad cilik (jagad gumulung/ mikrokosmos) yang merupakan bagian dari kesatuan dengan jagad gedhe (jagad gumelar/ makrokosmos). Perkembangan kesatuan yang telah dicapai jagad cilik akan berpengaruh terhadap perkembangan wilayah masyarakat sekitarnya, selanjutnya berpengaruh bagi alam lingkungannya bahkan jagad gede atau dunia. Pola pikir dan pandangan hidup orang Jawa pada dasarnya berkembang dari pemahaman ini. 

Pemahaman inilah yang kemudian mendasari sikap hidup orang Jawa sebagai berikut : 


a. Orang Jawa sebagai individu
Konsep kesesuaian lahir dan batin (http://Joglosemar.freeservers.com) bagi setiap individu mengandung pengertian bahwa karakter-karakter yang dimiliki oleh seorang individu harus sesuai secara lahiriah maupun batiniah. Lahir harus memiliki karakter ‘rila, nrima, temen, sabar, budiluhur’, sedangkan batin harus memiliki karakter ‘eling, percaya, mituhu’.
Oleh Herusatoto (2003: 72) karakter lahir disebut dengan panca-sila sedangkan karakter batin disebut dengan tri-sila. Tri-sila erat kaitannya dengan keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu harus selalu eling (sadar) dengan selalu berbakti kepada Tuhan, pracaya (percaya) kepada Tuhan, dan mituhu (setia) melaksanakan perintah Tuhan. Panca-sila merupakan tingkah laku terpuji yang terdiri dari rila (ikhlas), narimo (bersyukur), sabar dan budi luhur (mencontoh sifat-sifat keluhuran Tuhan). 


b. Orang Jawa sebagai anggota keluarga
Bagi orang Jawa, kewajiban utama orang tua adalah untuk menjaga agar anak-anaknya menjadi orang (dadi wong), yaitu menjadi anggota yang terhormat di masyarakat. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan dinyatakan dalam pandangan bahwa anak-anak durung jawa, yaitu belum menjadi orang Jawa, belum mengenal aturan-aturan kehidupan dan masih dikuasai oleh dorongan naluriah dan emosi-emosinya (Mulder: 1985: 37). Selanjutnya juga ditanamkan rasa malu (isin) kepada anak, karena perasaan ini membantu untuk melatih penguasaan diri, sekurang-kurangnya dalam ungkapan tingkah laku yang bisa dilihat. Disebutkan juga bahwa seorang guru, orang tua, dan terutama seorang ayah harus menjadi objek penghormatan (jimat pepundhen), dihormati dan dimuliakan karena pengayoman yang diberikan. Sebaliknya anak harus menghormati dan mematuhi (ngajeni) orang tua mereka, mikul dhuwur mendem jero (menjunjung tinggi menanam dalam-dalam). Dapat diartikan bahwa anak harus menjunjung tinggi martabat orang tuanya, juga harus menyembunyikan kekurangan orang tuanya, termasuk perselisihan dalam keluarga. Kebersamaan merupakan hal yang penting dalam keluarga, hal ini tercermin dari ungkapan mangan ora mangan angger kumpul (Depdikbud: 1984: 87), artinya bahwa meskipun tidak makan yang penting selalu bersama. 


c. Orang Jawa sebagai anggota masyarakat
Orang Jawa cenderung untuk mempunyai kesadaran tinggi terhadap keberadaan orang-orang lain (Mulder: 1985: 47). Pertukaran sopan santun kecil hampir merupakan ritual wajib yang dapat membuka jalan ke arah percakapan lebih lanjut atau beberapa tanya jawab, namun demikian masalah pokoknya ialah saling mengakui keberadaan masing-masing. Masyarakat menetapkan aturan-aturannya dan mengharapkan tidakan bersesuaian tertentu untuk melindungi nama baiknya dan kelancaran hubungan di antara anggotanya. Cita-cita kehidupan bermasyarakat adalah untuk mengalami masyarakat yang serasi, yaitu rukun. Hidup bermasyarakat berarti orang harus menghormati pandangan orang lain. Pandangan itu bersifat kritis terhadap semua bentuk gangguan, tingkah laku yang tidak biasa, dan sangat curiga terhadap penampilan ambisi pribadi. Kunci bagi hubungan-hubungan antarpribadi Jawa adalah wawasan bahwa tidak ada dua orang yang sederajat dan bahwa mereka berhubungan satu sama lain secara hirarkis.
Selain itu dalam kehidupan bermasyarakat, orang Jawa cenderung tidak menonjolkan diri. Hal ini dijelaskan oleh Herusatoto (2003: 74) melalui ungkapan aja dumeh dan aja aji mumpung, yang artinya adalah jangan mentang-mentang. Dengan hubungan antar individu yang sifatnya hirarkis, diharapkan pihak yang lebih tinggi hirarkinya tidak memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi.


Sumber : Pengaruh Gaya Hidup Masyarakat Jawa pada Desain Interior Rumah Tinggal Berbentuk Joglo di Jakarta, tesis oleh Augustina Ika Widyani, Program Studi Magister Desain ITB, 2006.

Selasa, 03 November 2009

KOMUNIKASI NONVERBAL DAN GAYA HIDUP

Komunikasi nonverbal merupakan bentuk awal komunikasi yang mendahului evolusi bagian otak yang berperan dalam penciptaan dan pengembangan bahasa. Manusia secara total bergantung pada komunikasi nonverbal hingga usia kira-kira 18 bulan, melalui sentuhan, senyuman, pandangan mata, dan sebagainya. Maka, tidaklah mengherankan ketika kita ragu pada seseorang, kita lebih percaya pada pesan nonverbalnya. Orang yang terampil membaca pesan non-verbal orang lain disebut intuitif, sedangkan yang terampil mengirimkannya disebut ekspresif (dalam Mulyana: 2004 :308).

Fungsi pesan nonverbal menurut Paul Ekman (dalam Mulyana: 2004 :314) dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yaitu:
- Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang setara dengan simbol verbal.
- Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.
- Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.
- Penyesuai. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan merupakan respon yang tidak disadari yang merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.
- Affect Display. Pembesaran manik-mata menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.

Pengklasifikasian pesan nonverbal seperti disampaikan oleh Jurgen Ruesch (dalam Mulyana: 2004: 317) terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Bahasa tanda (sign language)
b. Bahasa tindakan (action language)
c. Bahasa objek (object language)

Yang akan dibahas secara khusus disini adalah mengenai pilihan gaya hidup, termasuk di dalamnya adalah tempat tinggal. Dalam hal ini, tempat tinggal (hunian) merupakan bentuk komunikasi nonverbal dalam kategori bahasa obyek (object language), serta kategori penampilan fisik. Secara khusus bahkan ditegaskan bahwa artefak yaitu benda apa saja yang dihasilkan oleh kecerdasan manusia, merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal.

Termasuk dalam kategori ini adalah rumah, kendaraan, perabot rumah dan modelnya (furnitur, barang elektronik, lampu kristal), patung, lukisan, kaligrafi, foto saat bersalaman dengan presiden, buku yang kita pajang di ruang tamu, koran dan majalah yang ktia baca, botol minuman keras, bendera, dan benda-benda lain dalam lingkungan kita adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat diberi makna (Mulyana: 2004: 380).
Tidak dapat pula dibantah bahwa pakaian, seperti juga rumah, kendaraan, dan perhiasan, digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemakainya (Mulyana: 2004: 347).

Tomlinson (1991) menyebutkan konsumerisme dalam bentuk hunian dan segala isinya merupakan suatu cara seseorang mendapatkan suasana yang melepaskan dirinya dari segala kesibukan dan kekacauan dunia. Sue Glyptis (1987 dalam Tomlinson: 1991) mengatakan bahwa hunian mendominasi gaya hidup dari semua kelompok masyarakat, khususnya pada wanita, orang tua tunggal, orang pada masa pensiun maupun menjelang pensiun, dan kelas profesional maupun kelompok pengangguran.

Sumber :
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Penerbit Rosda, Bandung, 2004.
Tomlinson, Alan (1991), Consumption, Identity, and Style, Routledge Publishing, New York.

Senin, 02 November 2009

AL-QUR'AN SEBAGAI PEMBELA DI HARI AKHIRAT

Abu Umamah r.a. berkata : "Rasulullah S.A.W telah menganjurkan supaya kami semua mempelajari Al-Qur'an, setelah itu Rasulullah S.A.W memberitahu tentang kelebihan Al-Qur'an.
" Telah bersabda Rasulullah S.A.W : Belajarlah kamu akan Al-Qur'an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya."

Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, " Kenalkah kamu kepadaku?" Maka orang yang pernah membaca akan menjawab : "Siapakah kamu?"
Maka berkata Al-Qur'an : "Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari."

Kemudian berkata orang yang pernah membaca Al-Qur'an itu : "Adakah kamu Al-Qur'an?" Lalu Al-Qur'an mengakui dan menuntun orang yang pernah membaca mengadap Allah S.W.T. Lalu orang itu diberi kerajaan di tangan kanan dan kekal di tangan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya.

Pada kedua ayah dan ibunya pula yang muslim diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya : "Dari manakah kami memperolehi ini semua, pada hal amal kami tidak sampai ini?"
Lalu dijawab : "Kamu diberi ini semua karena anak kamu telah mempelajari Al-Qur'an."

dari : 1001 Kisah Teladan

Minggu, 01 November 2009

KOMUNIKASI VERBAL DALAM KONTEKS BUDAYA

Untuk memahami fenomena komunikasi yang kita temui dalam masyarakat, ada beberapa prinsip komunikasi yang harus kita pahami, yaitu :
1. Komunikasi adalah suatu proses simbolik
2. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi
3. Komunikasi punya dimensi isi dan dimensi hubungan
4. Komunikasi itu berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan
5. Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu
6. Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi
7. Komunikasi itu bersifat sistemik
8. Semakin mirip latar belakang sosial-budaya semakin efektiflah komunikasi
9. Komunikasi bersifat nonsekuensial
10. Komunikasi bersifat prosesual, dinamis, dan transaksional
11. Komunikasi bersifat irreversible
12. Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah.

Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuannya dalam berbahasa, hal ini berkaitan dengan pembesaran dan perkembangan otak manusia. Menurut Larry L. Barker (dalam Mulyana: 2004: 242), bahasa memiliki tiga fungsi yaitu: penamaan (naming atau labeling), interaksi dan transmisi informasi. Namun demikian, terdapat beberapa keterbatasan bahasa seperti :
1. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili obyek
2. Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual
3. Kata-kata mengandung bias budaya
4. Pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian.

Menurut Hipotesis Sapir-Whorf (dalam Mulyana: 204 : 251), adalah Teori Relativitas Linguistik yang menjelaskan bahwa sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakainya. Bahasa mengandung bias budaya. Karena bahasa terikat oleh konteks budaya, maka bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya.

Edward T. Hall (dalam Mulyana :2004: 294) membedakan budaya konteks-tinggi (high-context culture) dengan budaya konteks-rendah (low-context culture) yang memiliki beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya. Budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi konteks-rendah: pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, dan berterus terang. Sebaliknya, budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi konteks-tinggi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Secara umum, komunikasi kita (Indonesia) termasuk komunikasi konteks-tinggi. Keengganan untuk berterus-terang pada komunikasi konteks-tinggi boleh jadi sebagai salah satu perwujudan obsesi untuk senantiasa menjaga harmoni dengan orang lain.

Sumber : Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Penerbit Rosda, Bandung, 2004.

Rabu, 28 Oktober 2009

MEYAKINI KEMUTLAKAN ALLAH

Alhamdulillah. Allah mempercayai suamiku untuk membimbing dan melindungiku. Seorang laki2 yang aku kagumi kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah. Seorang laki2 biasa yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang, mengakui keterbatasannya sebagai manusia biasa serta berusaha selalu memperbaiki diri.

Namun tidak ada pasangan yang tidak diuji oleh Allah. Kecintaan kami kepada Allah dan Rasulullah berangkat dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Sehingga beberapa kali kami berdiskusi dengan sangat serius kadang emosional (biasanya yang emosional adalah aku....dasar wanita). Permasalahan yang menurut kami adalah prinsip, dan suamiku sangat khawatir ini akan menjadi bibit perselisihan dalam rumah tangga kami. Kurang lebih begini...

Suamiku yakin bahwa Allah memberikan pilihan dalam kehidupan setiap hamba-Nya, setiap pilihan membawa pada konsekuensi2 tertentu. Sementara aturan dan prosedurnya telah ditetapkan oleh Allah. Sehingga pilihan tersebut adalah tanggung jawab dari setiap hamba.

Ini masuk akal dan aku juga meyakini hal tersebut. Yang berbeda adalah bahwa aku yakin bahwa Allah menilai bagaimana niat dan usaha kita dalam menjalani pilihan tersebut. Sedangkan hasil dari usaha kita adalah hak mutlak Allah untuk menentukannya. Allah Maha Tahu dan kita seringkali sok tahu. Kegagalan seringkali kita nilai sebagai hasil yang buruk karena hal tersebut adalah hasil yang tidak kita kehendaki, tidak kita sukai. Padahal dibalik kegagalan atau kalau boleh disebut sebagai bencana apapun itu bentuknya, Allah menyimpan sesuatu yang jauh lebih baik. Yang buruk menurut kita belum tentu buruk dalam pandangan Allah. Berdasarkan pemikiran inilah maka aku yakin bahwa kegagalan tersebut bukan tanggung jawab kita, karena ini sudah di luar kuasa kita. Kita sudah berikhtiar dan berdoa, selanjutnya kita harus pasrah apapun yang menjadi keputusan Allah. Karena itu aku yakin yang menjadi pertimbangan dalam pencatatan amal perbuatan adalah niat dan usaha kita, bukan hasil usahanya.

Sementara suamiku sangat rasional dalam menilai suatu permasalahan. Sehingga ketika terjadi kegagalan dalam suatu usaha, itu adalah tanggung jawab kita. Pasti ada yang salah dalam niat maupun usaha kita. Mungkin kita kurang ikhlas atau kurang bersungguh-sungguh, sehingga kita harus bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut.
Wah...masalah bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut menurutku adalah dengan pasrah menerima kegagalan tersebut. Karena seringkali kita sudah benar dalam niat dan usaha namun masih gagal, jadi dimana yang salah? Tentu yang salah adalah persepsi kita dalam menilai bahwa kegagalan tersebut adalah suatu akhir yang buruk. Padalah bisa saja kegagalan adalah suatu awal untuk kebaikan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Atau bisa jadi yang salah adalah persepsi kita dalam menilai bahwa niat dan usaha kita sudah benar. Benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah bukan?

Jadi dimana sebenarnya perselisihan kami?
....sekarang aku baru menyadari maksud suamiku. Ternyata dia menekankan proses belajar dari kegagalan sebagai tanggung jawab kita. Sementara aku menekankan pada takdir Allah yang bersifat mutlak, sehingga baik buruknya tidak perlu kita berlebihan dalam menghadapinya. Bukankah keduanya tidak perlu dipertentangkan? Kalau saja dia mengatakan ini dari awal, tidak perlu kami berselisih paham begitu. Hiks....

Tapi ada hal lain lagi. Tentang keterlibatan Allah dalam keputusan yang diambil oleh setiap hamba-Nya. Suamiku berpendapat Allah tidak campur tangan, karena prosedurnya sudah jelas, itu adalah pilihan bebas tiap manusia. Sedangkan aku yakin Allah tidak lepas tangan. Allah menolong siapa pun yang dikehendaki-Nya dan membiarkan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Bukankah setiap kemudharatan tidak mungkin menyentuh kita melainkan atas ijin Allah? Bukankah setiap kemaslahatan tidak mungkin terjadi pada kita selain atas ijin Allah? Bukankah Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang Allah kehendaki? Jadi apapun yang menjadi keputusan kita tentu ada campur tangan Allah didalamnya. Bukankah karena itu maka dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah selalu dalam keadaan sibuk? Kalau prosedurnya sudah jelas sehingga tidak campur tangan dalam pilihan manusia, maaf, bukankah Allah sekarang sedang menganggur?

....jangan-jangan ini cuma masalah bahasa? Menurut suamiku ‘membiarkan’ artinya tidak campur tangan, sedangkan pertolongan Allah hanya kepada orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu, sekali lagi ditekankan bahwa prosedurnya sudah jelas.
Prosedurnya memang sudah jelas. Semua ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi menurut sudut pandangku itu adalah buku panduan yang menolong kita dalam mengambil keputusan. Bukankah tidak menyentuhnya, Al-Qur’an, melainkan orang yang disucikan? Bahkan kita diharuskan bersuci dahulu sebelum menyentuh Al-Qur’an. Jadi hanya orang yang mendapat petunjuk saja yang mempelajari prosedur tersebut. Fungsi prosedur itu adalah sebagai panduan, bukan buku takdir yang memastikan apa yang akan terjadi karena itu adalah rahasia Allah. Yang disebut buku takdir adalah Lauhul Mahfuz, dan itu adalah rahasia Allah. Al-Qur’an sendiri tertulis dalam Lauhul Mahfuz. Jadi Al-Qur’an adalah sebagian dari ilmu Allah yang masih sesuai dengan kemampuan pikir manusia, sehingga diturunkan sebagai pedoman hidup bagi orang yang mendapat petunjuk.

Seringkali kita terdorong untuk mengambil keputusan tertentu, dorongan yang sangat kuat yang membuat kita yakin. Menurutku insyaAllah itu adalah petunjuk Allah yang mengilhami setiap jiwa. Ketika kita tidak memiliki dorongan tertentu, bukankah kita melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk Allah? Apakah keputusan itu baik atau buruk, penilaiannya bukan pada manusia. Apapun yang sudah menjadi keputusan Allah adalah yang terbaik bagi setiap hamba. Jadi sekali lagi tentu ada campur tangan Allah dalam setiap keputusan manusia.

Jadi kesimpulannya apa? Wacana ini bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Tujuannya hanya mencari ridha Allah. Dan pembahasan ini belum selesai karena masih menunggu pemikiran lain dari suamiku tercinta.

21 September, 2008

Sabtu, 24 Oktober 2009

KABAR GEMBIRA DARI TUHAN

Pada zaman Rasululah saw, hidup seorang berwajah sangat buruk. Namnya Dzun Namrah (namrah artinya wajah berbintik-bintik). Pada suatu hari, dia menemui Rasulullah saw.
“Ya Rasulullah, amal-amal apakah yang telah Allah wajibkan kepadaku?” tanya Dzun Namrah.
“Allah telah mewajibkan kepadamu tujuh belas rakaat setiap hari, shaum bulan Ramadhan, haji ke Baitullah kalau mampu, dan berzakat,” jawab Nabi.
“Demi Tuhan yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, selain kewajiban-kewajiban itu, aku tidak akan melakukan amal lainnya,” kata Namrah.
“Mengapa begitu, hai Dzun Namrah?” tanya Nabi.
“Karena Dia telah menciptakanku berbentuk buruk dan bermuka jelek ini!”
Pada saat itu Jibril turun menemui Nabi, “Ya Rasulullah, Tuhanku berkata : ‘Sampaikan salam dari-Ku kepada Dzun Namrah dan katakan kepadanya, ‘Maukah Allah menjadikanmu tampan berwajah seperti Jibril pada hari kiamat nanti saat kamu dikumpulkan?’”
Rasulullah saw menyampaikan kabar gembira (bisyarah) dari Allah melalui Jibril itu kepada Namrah.
Setelah mendengar kabar itu, dia berdoa, “Ya Allah, aku bahagia! Tuhanku, demi keagungan-Mu sungguh aku pasti akan melakukan amal baik dan saleh supaya Engkau ridha.”
Taken from Kisah-Kisah Pertolongan Allah, Mahdi Shahib Hunar, 2006.

PENYAMBUTAN ALLAH

Seorang pemuda Bani Israil melakukan ketaatan dan penghambaan kepada Allah selama dua puluh tahun dan berbuat maksiat selama dua puluh tahun pula. Suatu hari ia, bercermin. Ia mengingat dirinya dan merasa malu dengan apa yang telah diperbuatnya.

Ia berkata, “Duhai Tuhanku, dua puluh tahun aku beribadah dan dua puluh tahun aku bermaksiat. Jika aku kembali kepada-Mu, apakah Engkau memperkenankan aku?”

Tiba-tiba, ia mendengar suara yang mengatakan, “Kamu mencintai Kami, maka Kami pun mencintaimu. Kamu tinggalkan Kami, maka Kami pun meninggalkanmu. Kamu berbuat maksiat kepada Kami, Kami menangguhkanmu dan jika kamu kembali kepada Kami, Kami menerimamu.”

Taken from Kisah-Kisah Pertolongan Allah, Mahdi Shahib Hunar, 2006

KEANGKUHAN MAKHLUK

Ketika Allah SWT menciptakan samudera, ia (samudera) berbangga dan sombong. Katanya, “Siapa yang bisa mengalahkanku?” lalu Allah menciptakan bumi dan diletakkan di atas permukaan samudera sehingga ia tunduk.

Kemudian bumi juga berbangga. Katanya “Siapa yang bisa mengatasiku?” Lalu Allah mencipkakan bukit dan gunung. Ditancapkannya kaki gunung ke dalam perut bumi agar ia mantap dan tidak bergoyah. Bumi tunduk dan tidak bergoyah.

Gunung pun berkata “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan besi dan memotongnya.

Si besi kemudian berkata “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah menciptakan api dan dengan api itu besi bisa mencair.

Si api berbangga “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan air dan dengan air, api bisa padam.

Lalu air pun berbangga dan berkata, “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan angin. Angin bertiup mengoncangkan gelombang samudera sampai dasarnya sehingga menahannya dari mengalir.

Angin pun berbangga dan berkata, “Siapa yang bisa mengatasiku?” lalu Allah ciptakan manusia. Dia dapat membangun dinding yang mampu menahan hembusan dan tiupan angin.

Manusia kemudian bersikap sombong dan mengatakan, “Siapa yang bisa mengalahkanku?” Lalu Allah ciptakan mati dan mati dapat mengalahkan manusia.

Mati pun bersikap sombong.
Allah berkata “Janganlah kau berbangga karena aku akan membelah kau menjadi dua, yang satu ke surga dan yang lainnya ke neraka.”
Kemudian Allah tidak akan menghidupkan mati selama-lamanya, mati pun takut.


(Khoir, Mufidul, 2007, Rahasia Para Sufi, Sketsa, Yogyakarta)