Kamis, 19 November 2009

Rumah Dalam Arsitektur Jawa

Bagi orang Jawa, rumah sebagai tempat tinggal atau tempat berdiam merupakan salah satu tujuan idealnya (Ronald: 1988: 88). Bahkan memiliki rumah sendiri dapat merupakan lambang kemantapan rumah tangganya. Rumah sebagai lingkungan kehidupan manusia dalam keadaan berdiam diri, keberadaannya akan membentuk keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Rumah menjadi sarana untuk membentuk kepribadian seseorang sebelum menghadapi tantangan hidup di kemudian hari, yang berkaitan dengan kepentingan pribadi maupun para generasi penerusnya. Oleh karena itu rumah ke dalam dapat diartikan suatu pembentukan, sedang keluar dapat diartikan sebagai pantulan kepribadian seseorang.

Perkataan omah (rumah) menurut Baoesastra Jawa menunjukkan suatu bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau keperluan lainnya (Ismunandar: 2001: 101)
Sedemikian pentingnya arti rumah bagi orang Jawa sebagai bagian dari keselarasan kosmos, maka dalam membangun rumah perlu memperhatikan lahan yang tepat untuk membangun rumah (Ismunandar: 2001: 24), jenis kayu yang digunakan (Ismunandar: 2001: 11), perhitungan waktu membangun rumah (Ronald: 1988: 161) hingga letak dan arah hadap pintu masuk ke dalam halaman rumah (Ronald: 1988: 170).

Pada saat merencanakan dan saat mendirikan kemudian sesudah selesai rumah itu didirikan, selalu diikuti oleh ritus-ritus atau upacara-upacara tertentu (Wibowo, 1998:199). Sebelum mendirikan bangunan, diadakan upacara kawitan (upacara permulaan) yang terdiri dari upacara senthir lan tumpeng serta upacara tulak bala. Pelaksanaan upacara kawitan ini berbeda di tiap daerah, ada yang mengadakan upacara senthir saja atau tumpeng saja. Namun pada intinya maksud dari diadakannya upacara kawitan ini adalah untuk menjinakkan dhanyang yang bertempat tinggal di tempat itu (Wibowo: 1998: 202).

Pada saat proses mendirikan bangunan juga diadakan upacara yaitu upacara natah molo dan upacara ngadekake omah. Upacara natah molo merupakan ritual yang sangat penting karena ditujukan untuk memohon kepada Tuhan, menolak bahaya yang datang dari kekuatan gaib dan memohon doa restu dan keselamatan dari para tetangga. Molo atau suwunan merupakan bagian rumah yang paling penting, karena merupakan kepala daripada keseluruhan bangunan rumah. Pada saat mendirikan rumah, molo yang merupakan bagian paling atas dari kerangka bangunan akan dipasang paling akhir setelah kerangka-kerangka lainnya terpasang.

Setelah bangunan selesai juga diadakan upacara yang disebut upacara selapanan omah. Serangkaian upacara ini ditujukan untuk mendatangkan keselamatan selama proses mendirikan bangunan itu sendiri maupun keselamatan bagi para penghuninya kemudian. Rumah juga diasosiasikan sebagai manusia, sudah dianggap kokoh apabila berusia 35 hari (Wibowo: 1998: 218). Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan serta leluhur, segenap tetangga dan para handai taulan yang diwujudkan dalam bentuk doa bersama dengan begadang (lek-lekan) semalam suntuk.

Demikianlah beberapa kebiasaan yang diikuti oleh orang Jawa dalam mendirikan rumah. Masing-masing dapat mempengaruhi kehidupan penghuni rumah, karena setiap hal saling terkait sebagai suatu kesatuan kosmik. Oleh karena itu dari awal pendiriannya sudah diperhitungkan dengan teliti supaya dapat mendatangkan kebaikan bagi penghuni rumah.

Sumber :
- Ronald, Arya, 1988, Manusia dan Rumah Jawa, Penerbit Juta, Yogyakarta.
- Ismunandar, R., 2001, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Effhar & Dahara Prize, Semarang.
- Wibowo, Drs. H.J., dkk., 1998, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar