Senin, 09 November 2009

SIKAP HIDUP ORANG JAWA

Orang Jawa memandang dirinya sebagai jagad cilik (jagad gumulung/ mikrokosmos) yang merupakan bagian dari kesatuan dengan jagad gedhe (jagad gumelar/ makrokosmos). Perkembangan kesatuan yang telah dicapai jagad cilik akan berpengaruh terhadap perkembangan wilayah masyarakat sekitarnya, selanjutnya berpengaruh bagi alam lingkungannya bahkan jagad gede atau dunia. Pola pikir dan pandangan hidup orang Jawa pada dasarnya berkembang dari pemahaman ini. 

Pemahaman inilah yang kemudian mendasari sikap hidup orang Jawa sebagai berikut : 


a. Orang Jawa sebagai individu
Konsep kesesuaian lahir dan batin (http://Joglosemar.freeservers.com) bagi setiap individu mengandung pengertian bahwa karakter-karakter yang dimiliki oleh seorang individu harus sesuai secara lahiriah maupun batiniah. Lahir harus memiliki karakter ‘rila, nrima, temen, sabar, budiluhur’, sedangkan batin harus memiliki karakter ‘eling, percaya, mituhu’.
Oleh Herusatoto (2003: 72) karakter lahir disebut dengan panca-sila sedangkan karakter batin disebut dengan tri-sila. Tri-sila erat kaitannya dengan keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu harus selalu eling (sadar) dengan selalu berbakti kepada Tuhan, pracaya (percaya) kepada Tuhan, dan mituhu (setia) melaksanakan perintah Tuhan. Panca-sila merupakan tingkah laku terpuji yang terdiri dari rila (ikhlas), narimo (bersyukur), sabar dan budi luhur (mencontoh sifat-sifat keluhuran Tuhan). 


b. Orang Jawa sebagai anggota keluarga
Bagi orang Jawa, kewajiban utama orang tua adalah untuk menjaga agar anak-anaknya menjadi orang (dadi wong), yaitu menjadi anggota yang terhormat di masyarakat. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan dinyatakan dalam pandangan bahwa anak-anak durung jawa, yaitu belum menjadi orang Jawa, belum mengenal aturan-aturan kehidupan dan masih dikuasai oleh dorongan naluriah dan emosi-emosinya (Mulder: 1985: 37). Selanjutnya juga ditanamkan rasa malu (isin) kepada anak, karena perasaan ini membantu untuk melatih penguasaan diri, sekurang-kurangnya dalam ungkapan tingkah laku yang bisa dilihat. Disebutkan juga bahwa seorang guru, orang tua, dan terutama seorang ayah harus menjadi objek penghormatan (jimat pepundhen), dihormati dan dimuliakan karena pengayoman yang diberikan. Sebaliknya anak harus menghormati dan mematuhi (ngajeni) orang tua mereka, mikul dhuwur mendem jero (menjunjung tinggi menanam dalam-dalam). Dapat diartikan bahwa anak harus menjunjung tinggi martabat orang tuanya, juga harus menyembunyikan kekurangan orang tuanya, termasuk perselisihan dalam keluarga. Kebersamaan merupakan hal yang penting dalam keluarga, hal ini tercermin dari ungkapan mangan ora mangan angger kumpul (Depdikbud: 1984: 87), artinya bahwa meskipun tidak makan yang penting selalu bersama. 


c. Orang Jawa sebagai anggota masyarakat
Orang Jawa cenderung untuk mempunyai kesadaran tinggi terhadap keberadaan orang-orang lain (Mulder: 1985: 47). Pertukaran sopan santun kecil hampir merupakan ritual wajib yang dapat membuka jalan ke arah percakapan lebih lanjut atau beberapa tanya jawab, namun demikian masalah pokoknya ialah saling mengakui keberadaan masing-masing. Masyarakat menetapkan aturan-aturannya dan mengharapkan tidakan bersesuaian tertentu untuk melindungi nama baiknya dan kelancaran hubungan di antara anggotanya. Cita-cita kehidupan bermasyarakat adalah untuk mengalami masyarakat yang serasi, yaitu rukun. Hidup bermasyarakat berarti orang harus menghormati pandangan orang lain. Pandangan itu bersifat kritis terhadap semua bentuk gangguan, tingkah laku yang tidak biasa, dan sangat curiga terhadap penampilan ambisi pribadi. Kunci bagi hubungan-hubungan antarpribadi Jawa adalah wawasan bahwa tidak ada dua orang yang sederajat dan bahwa mereka berhubungan satu sama lain secara hirarkis.
Selain itu dalam kehidupan bermasyarakat, orang Jawa cenderung tidak menonjolkan diri. Hal ini dijelaskan oleh Herusatoto (2003: 74) melalui ungkapan aja dumeh dan aja aji mumpung, yang artinya adalah jangan mentang-mentang. Dengan hubungan antar individu yang sifatnya hirarkis, diharapkan pihak yang lebih tinggi hirarkinya tidak memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi.


Sumber : Pengaruh Gaya Hidup Masyarakat Jawa pada Desain Interior Rumah Tinggal Berbentuk Joglo di Jakarta, tesis oleh Augustina Ika Widyani, Program Studi Magister Desain ITB, 2006.

1 komentar: